"Paper tentang masalah sosial untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial Dasar semester 1
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada"
Seringkali kita jumpai masalah-masalah yang terkait dengan pedagang kakilima (PKL) di perkotaan Indonesia. Mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulangkali menertibkan mereka yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas ataupun merusak keindahan kota
Pedagang kaki lima atau yang sering disebut dengan PKL memilii makna yaitu pedagang yang mengelar dagangannya di tepi jalan yang lebarnya lima kaki (5 feet) dari trotoar atau tepi jalan. Selain itu terdapat pengertian lain tentang PKL yaitu orang yang melakukan kegiatan usaha berdagang dengan maksud memperoleh penghasilan yang sah, dan dilakukan secara tidak tetap dengan kemampuan yang terbatas, berlokasi di tempat atau pusat-pusat konsumen. Meskipun dengan pengertian beragam, istilah PKL tetap saja identik dengan pedagang yang membuka kiosnya dipinggir-pinggir jalanpenataannya berupa penertiban dan pemberdayaan PKL. Pedagang kaki lima memilih lokasi dan tempat-tempat strategis serta disekeliling tempat pendidikan (sekolah, kampus) dan seputar perkantoran, pertokoan karena mereka menyakini bahwa dilokasi itulah sumber penghasilan relatif mudah diperoleh. Sehingga adanya aspek larangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah kota/kabupaten sering belum sepenuhnya dipahami. Bahkan adanya Perda Kota Yogyakarta No.26 Tahun 2002 tentang “DILARANG BERJUALAN DI TROTOAR/DAERAH MILIK JALAN”pun tidak dihiraukan. Itu sebabnya keberadaan PKL memerlukan penatan khusus tetapi penataan yang dimaksud bukan upaya mengapus keberadaan PKL itu sendiri,
Pedagang Kakilima di Perkotaan
Memakai konsep informalitas perkotaan dalam mencermati fenomena PKL di perkotaan mengubah perspektif terhadap keberadaan mereka di perkotaan. Mereka bukanlah kelompok yang gagal masuk dalam sistem ekonomi perkotaan. Mereka bukanlah komponen ekonomi perkotaan yang menjadi beban bagi perkembangan perkotaan. PKL adalah salah satu moda dalam transformasi perkotaan yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi perkotaan.
Menjawab pertanyaan yang saya ajukan di awal tulisan ini, PKL bukanlah wujud dari kurangnya lapangan pekerjaan di perkotaan. Lapangan pekerjaan yang mereka lakukan adalah salah satu moda transformasi dari masyarakat berbasis pertanian ke industri dan jasa. Mengingat kemudahan untuk memasuki kegiatan ini berikut dengan minimnya tuntutan keahlian dan modal usaha, penduduk yang bermigrasi ke kota cenderung memilih kegiatan PKL.
Ketersediaan lapangan pekerjaan sektor formal bukanlah satu-satunya indikator ketersediaan lapangan kerja. Keberadaan sektor informal pun adalah wujud tersedianya lapangan kerja. Cukup banyak studi di negara-negara Dunia Ketiga yang menunjukkan bahwa tidak semua pelaku sektor informal berminat pindah ke sektor formal. Bagi mereka mengembangkan kewirausahaannya adalah lebih menarik ketimbang menjadi pekerja di sektor formal.
Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan yang tidak didasari oleh pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal termasuk PKL.
Dominasi Sekolah Chicago dalam praktek perencanaan kota di negara-negara Dunia Ketiga termasuk di Indonesia menyebabkan banyaknya produk tata ruang perkotaan yang tidak mewadahi sektor informal. Kegiatan-kegiatan perkotaan didominasi oleh sektor-sektor formal yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Alokasi ruang untuk sektor-sektor informal termasuk PKL adalah ruang marjinal. Sektor informal terpinggirkan dalam rencana tata ruang kota yang tidak didasari pemahaman informalitas perkotaan.
Fenomena PKL yang muncul di perkotaan di Indonesia seyogyanya dipahami dalam konteks transformasi perkotaan. Pergeseran sistem ekonomi dari yang berbasis pertanian ke industri dan jasa menyebabkan terjadinya urbanisasi seiring dengan intensitas sektor informal. Pemahaman informalitas perkotaan dalam mencermati masalah sektor informal termasuk PKL akan menempatkan sektor informal sebagai bagian terintegral dalam sistem ekonomi perkotaan. Salah satu wujud pemahaman ini adalah menyediakan ruang kota untuk mewadahi kegiatan PKL.
Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota yang memiliki jumlah pedagang kaki lima paling banyak setelah Jakarta dan Bandung. Hal ini membuat penataan Kota Yogyakarta kurang indah dipandang mata. Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto menyatakan keprihatinannya terhadap masalah ini terutama masalah keruwetan pedagang kaki lima. Sebenarnya telah ditetapkan perda tentang pedagang kaki lima tetapi perda ini menetapkan bahwa sektor nonformal itu tak bisa dihilangkan dan menjadi bagian dari perekonomian masyarakat. Hal ini tidak dapat dipungkuri karena pekerjaan sebagai pedagang kaki lima merupakan salah satu lapangan usaha bagi para warga Yogyakarta dan memberikan income pada rumah tangga dengan penghasilan kecil. Salah satu contoh pusat penyebaran pedagang kaki lma di Yogyakarta adalah daerah Malioboro, di sini banyak dijumpai pedagang kaki lima yang menggelar barang dagangannya di sepanjang Jl. Malioboro. Mereka mulai mengelar barang dagangan pukul 08.00 dan nanti akan tutup pada pukul 21.00. Hal ini sesuai dengan surat keputusan Walikota Yogyakarta yaitu SK No. 119 tahun 2004 yang diubah menjadi SK Walikota Yogyakarta No. 115 tahun 2005 tentang penataan PKL kawasan khusus Malioboro - A. Yani.
Soal Kebersihan dan Hak Memperoleh Pekerjaan jika hanya terdapat satu atau dua pedagang kaki lima yang berada ditrotoar, mungkin belum dirasakan akibatnya terhadap aspek lingkungan, namun jika disekitar tempat-tempat tersebut penuh dengan para pedagang kaki lima, tentu dampak yang utama muncul adalah masalah kebersihan lingkungan dari akbitat sampah ditinggalkan hingga situasi lingkungan dapat menjadi kotor, belum lagi adanya tempat berjualan yang dibangun dengan tenda-tenda secara darurat dan sehabis berjualan tidak lagi dibongkar, dan ditinggal begitu saja. Ini tentu menjadi perhatian yang perlu direfleksikan, masihkah kita dapat merasakan “Yogyakarta Berhati Nyaman ?”.
Terlebih maraknya para pedagang kaki lima yang berjualan disepanjang trotoar dengan perlengkapan tenda yang kurang serasi, kios-kios kecil begitu saja ditinggal, tentu menambah pemandangan yang kurang nyaman. Apalagi jika para pedagang berjualan dengan memenuhi badan trotoar, maka korban berikutnya adalah para pejalan kaki yang harus rela tidak melewati trotoar yang semestinya trotoar terbut berfungsi untuk pejalan kaki. Fenomena ini dapat kita saksikan, khususnya di wilayah perkotaan semakin penuh sesak dengan pedagang kaki lima yang muncul dimana-mana. Terlepas menjadi persoalan pemerintah kota/kabupaten ataupun tidak, keberadaa pedagang kaki lima bila dikaji secara mendalam, sebenarnya secara tidak langsung para pedagang kaki lima juga telah ikut menyumbangkan kontribusinya kepada pemerintah kota/kabupaten terhadap peningkatan PAD (Pendapaan Asli Daerah) lewat kegiatan ekonomi informal, serta membantu penyerapan dan penyediaan lapangan pekerjaan yang begitu besar.
Sehingga untuk mengatasi para pedagang yang masih mangkal ditempat larangan perlu dibutuhkan cara-cara pendakatan yang humanis dan manusiawi. Artinya cara-cara dengan, diangkut paksa, penggusuran kiranya tidak perlu terjadi, sebab para pedagang juga memiliki tanggungan yang besar dalam keluarga masing-masing untuk tetap dapat bertahan hidup. Disamping cara-cara yang humanis, aspek sosialisasi secara terus menerus perlu dilakukan bahwa ditempat tersebut benar-benar bukan tempat untuk berjualan. Karena melalui cara-cara yang santun sebenarnya para pedagang tentu lama-kelamaan akan memahami . Oleh karena itu penertiban PKL dilakukan dengan tidak menghapus keberadaannya tetapi hanya melakukan pengaturan lokasi untuk pedagang kaki lima dengan melibatkan peran masyarakat di tingkat kelurahan atau kecamatan.
Pemerintah Kota Yogyakarta telah melakukan relokasi bagi pedagang kaki lima dengan membangun (resto Kaki Lima) di Mrican Demangan Sleman dan lokasi baru bagi pedagang klitikan di Pakuncen tetapi tetap saja masih muncul pedagang yang lain. Hingga saat ini, jumlah pedagang klitikan yang telah menempati lokasi baru di Pakuncen mencapai 671 orang. Untuk selanjutnya, Pemerintah Kota Yogyakarta akan konsentrasi mendampingi Pasar Klitikan Pakuncen. Pendampingan akan terfokus pada penguatan aspek ekonomi bagi pedagang dan juga upaya promosi Pakuncen. Pemerintah menargetkan akhir tahun ini dapat terbentuk koperasi pedagang. Dengan kehadiran koperasi, pemerintah akan lebih mudah melaksanakan program penguatan aspek ekonomi karena dilakukan melalui organisasi yang formal dan legal.
Malioboro yang menjadi salah satu tempat tujuan dari para pedagang kaki lima ternyata menjadi lahan yang dijadikan sebagai salah satu pusat bisnis PKL. Bisns PKL ini ternyata cukup menjanjikan bagi sejumlah kalangan karena malioboro merupakan tempat yang ramai dikunjungi baik turis local maupun turis mancanegara. Mengutip dari Skripsi Ika Oktavia, mahasiswi Sosiologi Fisipol UGM tentang poteret pedagang kaki lima di Malioboro kita dapat menhetahui bahwa ternyata kebanyakan dari para pedagang kai lima merupakan orang yang berasal dari luar pulau jawa. Peneliti ini dimulai dengan menelusuri jalan Malioboro dari utara ke selatan. Sepanjang jalan tersebut di sisi kanan dan kiri jalan, di jumpai para pedagang kaki lima yang sedang sibuk mengelar dagangan mereka. Dari sekian banyak PKL tersebut terdapat PKL yang berasal dari Minangkabau. Mereka hampir sama dengan PKL kebanyakan lainnya, yang membedakannya adalah daerag asal mereka, yaitu berasal dari Minangkabau Sumatera Barat. Mereka mulai mengelar barang dagangan pukul 08.00 dan nanti akan tutup pada pukul 21.00. Hal ini sesuai dengan surat keputusan Walikota Yogyakarta yaitu SK No. 119 tahun 2004 yang diubah menjadi SK Walikota Yogyakarta No. 115 tahun 2005 tentang penataan PKL kawasan khusus Malioboro - A. Yani.
PKL Minangkabau yang berjualan di Malioboro umumnya adalah laki-laki. Dari 129 orang PKL Minangkabau di Malioboro hanya 2 orang saja dari mereka yang perempuan. Hal ini disebabkan oleh kebudayaan Minangkabau yang bersifat matrilineal. Dimana dalam system ini ibu adalah tempat mengambil garis keturunan seseorang. Seseorang memperoleh suku berdasarkan suku ibunya dan rumah gadang dibangun berdasarkan jumlah anak perempuan. Seberapa besar jumlah kamar rumah gadang dibuat berdasarkan jumlah anak gadis mereka. Sementara anak laki-laki tidak ada kamar yang dibuat untuk mereka. Sehingga saat seorang anak laki-laki sudah berusia 7 tahun maka ia akan meninggalkan rumah untuk tinggal di surau, dimana mereka diajarkan ilmu agama dan adat Minangkabau.
Setelah remaja anak laki-laki tersebut dianjurkan untuk pergi merantau baik itu untuk menuntut ilmu atau untuk berdagang. Karena umumnya yang pergi merantau adalah anak laki-laki sehingga kebanyakan dari PKL Minangkabau di Malioboro adalah laki-laki.
Kalaupun ditemukan PKL Minangkabau yang perempuan, mereka adalah istri-istri dari PKL.biasanya mereka mengantikan menjaga barang dagangan sebentar ketika suami mereka istirahat untuk makan, sholat, berbelanja barang dagangan atau memiliki urusan lain yang harus meninggalkan barang dagangan mereka. Tidak jarang juga, saya menemukan PKL Minangkabau yang sudah mempunyai bawahan yang membantu mereka dalam berdagang. Biasanya bawahan mereka itu adalah orang Jawa yang masih muda dan yang sudah tidak sekolah lagi. Bawahan yang dipekerjakan pun kebanyakan laki-laki, hanya beberapa PKL Minangkabau saja perempuan.
Kalaupun ditemukan PKL Minangkabau yang perempuan, mereka adalah istri-istri dari PKL.biasanya mereka mengantikan menjaga barang dagangan sebentar ketika suami mereka istirahat untuk makan, sholat, berbelanja barang dagangan atau memiliki urusan lain yang harus meninggalkan barang dagangan mereka. Tidak jarang juga, saya menemukan PKL Minangkabau yang sudah mempunyai bawahan yang membantu mereka dalam berdagang. Biasanya bawahan mereka itu adalah orang Jawa yang masih muda dan yang sudah tidak sekolah lagi. Bawahan yang dipekerjakan pun kebanyakan laki-laki, hanya beberapa PKL Minangkabau saja perempuan.
Tidak susah untuk menjumpai PKL yang berasal dari Minangkabau di Malioboro, karena jumlah mereka yang cukup banyak. Dari data yang terkumpul sampai saat ini PKL Minangkabau yang ada di Malioboro berjumlah 129 orang. Dari Bukitinggi/Agam 20 orang, Pariaman 45 orang, Pesisir Selatan 33 orang, Sawahlunto Sijunjuang 21 orang dan 10 orang lagi dari berbagai daerah Sumatera Barat. Dari penampilan, sangatlah mudah membedakan PKL Minangkabau dengan PKL lainnya. Sebagian mereke berpenampilan rapi dan menarik dan sebagian mereka dilengkapi Handphone tergantung di leher atau di pinggang. Mereka berpenampilan menarik dan rapi karena bagi mereka hidup sebagai PKL tidak harus bermakna kumuh, kotor dan tidak indah. Dalam pandangan mereka, hidup sebagai PKL memang susah, namun kesusahan itu jangan sampai tercermin dalam pakaian mereka. “Kalaupun awak bansaik, jan bansaik awak tu dipacaliak-an kan urang banyak. ”Gengsi dan percaya diri itulah yang sering ditonjolkan dalam setiap penampilan. “Biar berjualan kacamata tetapi penampilan bagaikan direktur”. Itulah celotehan dalam gelak-tawa yang selalu keluar dari mulut PKL Minangkabau. Bagi mereka, pakaian tidak harus memperlihatkan pekerjaan yang mereka punyai. Sehingga apabila keluar dari Malioboro jangan selalu terkesan sebagai PKL.
Bagi para PKL Minangkabau pekerjaan sebagai pedagang kaki lima bukanlah pekerjaan yang buruk dan harus malu dengan pekerjaan itu. Bagi mereka lebih baik berdiri sepanjang hari menunggu barang dagangan di kaki lima, bebas tanpa ada yang mengatur. Daripada harus bekerja di suatu tempat dengan banyak aturan yang mengikat. Hal ini terkait juga dengan sifat orang Minangkabau yang suka berdikari atau menjadi tuan atas diri sendiri, walaupun itu hanya sebagai PKL. Perbedaan lain yang menarik terlihat dalam gaya dan cara mereka berdagang. PKL Minang dalam berdagang memiliki kekhasan , kadang-kadang menarik, kadang menjemukan. Menariknya apabila dilihat bagaimana mereka merayu pembeli dan melakukan tawar-menawar. Bagi konsumen cara yang mereka terapkan ini kadang-kadang menjemukan, seolah-olah melakukan tarik ulur dalam setiap transaksi.
Jenis barang yang dijual PKL Minang hampir sama dengan barang dagangan PKL lainnya. Aksesoris, batik, boneka, baju dagagu, dompet, jam tangan, kacamata, kaos kaki, kerudung, korek api, makanan, pakaian, sabuk, sandal, tas dan topi. Selain itu ada yang berjualan jasa seperti cetak nama dan pembuatan tato. Dilihat dari umurnya, PKL Minang umumnya berumur antara 20 tahun sampai 55 tahun. Kebanyakan orang Minangkabau pergi merantau di usia produktif atau ketika masih muda. Sementara pendidikan kebanyakan dari PKL Minang hanya SMP atau SMA. Hanya beberapa saja yang berpendidikan sarjana. SD 18 orang, SMP 47 orang, SMA 58 orang dan sarjana 6 orang.
Setiap harinya para PKL Minang mengelar barang dagangan, menunggu pembeli datang, melayani pembeli, pergi belanja barang dagangan yang habis stoknya dan membereskan kembali barang dagangan di malam hari. Kegiatan tersebut dilakukan berulang kali setiap hari.
(Di Kutip dari Skripsi Ika Oktavia, mahasiswi Sosiologi Fisipol UGM, Alumni Asrama Bundo Kanduang 2003)
(Di Kutip dari Skripsi Ika Oktavia, mahasiswi Sosiologi Fisipol UGM, Alumni Asrama Bundo Kanduang 2003)
Selain dari permasalah di atas kita dapat mengutip permasalahan pedagang kaki lima dari adanya rencana relokasi pedagang kaki lima di bunderan UGM. Di bunderan UGM kita dapat melihat banyak tulisan yang menyatakan “Menolak Relokasi Pedagang Kaki Lima bunderan UGM” para pedagang mengaku enggan dipindahkan karena mereka takut tempat yang baru tidak seramai tempat yang sekrang. Selain itu mereka takut kehilangan para langganan mereka dan menganggap di bunderan UGM adalah tempat yang strategis untuk berjualan karena bunderan UGM merupakan salah satu pusat aktifitas manusia. Banyaknya mahasiswa dan warga Yogyakarta yang berkunjung ke bunderan UGM membuat daerah itu ramai dan banyak juga yang melepas dahaga atau sekedar bersantai di warung-warung kaki lima. Karena beberapa sebab itulah maka para pedagang kaki lima yang berada di daerah bunderan UGM menolak adanya relokasi. Relokasi PKL ini bertujuan agar tata ruang di daerah bunderan UGM menjadu lebih bagus dan tertib. Dengan maraknya PKL di bunderan UGM menyebabkan daerah ini terlihat tidak tertib bahkan terkesan kumuh. Karisma UGM ebagai pusat pendidikan menjadi kurang maksimal karena kawasan pendidikan harusnya member rasa nyaman dan ketenangan bagi pengunjung dan mahasiswanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon kritik dan saran yang membangun