A. Sensor
Citra merupakan alat utama yang dipergunakan untuk mengenali dan memahami berbagai kenampakan/ objek dari permukaan bumi melalui penginderaan jauh. Citra dihasilkan oleh proses perekaman dengan bantuan sensor. Secara garis besar sensor dalam penginderaan jauh dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu sensor fotografik (kamera) dan sensor non-fotografik. Sensor non-fotografik dibagi lagi menjadi sensor pemindai (pelarik/ penyiam atau scanner) dan sensor radar/ gelombang mikro. Masing-masing sensor memiliki cara kerja yang berbeda-beda sehingga dapat menpengaruhi karakteristik citra yang dihasilkan.
Sensor berupa kamera ‘menangkap’ kenampakan obyek melalui perekaman besarnya pantulan sinar (gelombang elektromagnetik) dari obyek yang masuk melalui susunan lensa pada kamera kemudian mengenai lapisan film yang peka cahaya. Variasi warna yang muncul pada gambar yang dihasilkan tergantung pada (a) sistem lensa, diafragma, dan filter yang digunakan untuk menerima cahaya, (b) jenis dan kepekaan film yang digunakan, serta (c) spektrum panjang gelombang yang diijinkan masuk dalam sistem kamera. Cahaya masuk ke dalam sistem kamera, dan secara serentak menerpa film dan meninggalkan jejak kekuatan energi paparan pada tingkat pembakaran yang ada pada film tersebut. Film kemudian diproses secara kimiawi di laboratorium, dan dicetak menjadi foto udara. Kamera dengan film ini hanya mampu bekerja pada spektrum tampak (0,4 – 0,7 µm) dan peluasannya, yaitu spektrum inframerah dekat.Penggunaan film dan percetakan yang berbeda pun dapat menghasilkan foto berwarna maupun foto hitam putih.
Sensor berupa kamera ‘menangkap’ kenampakan obyek melalui perekaman besarnya pantulan sinar (gelombang elektromagnetik) dari obyek yang masuk melalui susunan lensa pada kamera kemudian mengenai lapisan film yang peka cahaya. Variasi warna yang muncul pada gambar yang dihasilkan tergantung pada (a) sistem lensa, diafragma, dan filter yang digunakan untuk menerima cahaya, (b) jenis dan kepekaan film yang digunakan, serta (c) spektrum panjang gelombang yang diijinkan masuk dalam sistem kamera. Cahaya masuk ke dalam sistem kamera, dan secara serentak menerpa film dan meninggalkan jejak kekuatan energi paparan pada tingkat pembakaran yang ada pada film tersebut. Film kemudian diproses secara kimiawi di laboratorium, dan dicetak menjadi foto udara. Kamera dengan film ini hanya mampu bekerja pada spektrum tampak (0,4 – 0,7 µm) dan peluasannya, yaitu spektrum inframerah dekat.Penggunaan film dan percetakan yang berbeda pun dapat menghasilkan foto berwarna maupun foto hitam putih.
Sensor non fotografik berupa scanner menerima pantulan dari suatu wilayah yang sempit pada permukaan bumi (Instananeus field of view/IFOV = medan pandang sesaat) yang masuk ke dalam sistem lensa, dan kemudian mendeteksi besarnya pantulan tersebut dengan detektor peka cahaya. Supaya seluruh kenampakan obyek dapat terekam, penerimaan gelombang pantulan dari wilayah yang sanat sempit ini diulang untuk wilayah yang ada di sebelahnya, dengan menggeser sistem lensa menyilang arah gerak wahana (across track),disebut dengan whiskbroom. Sapuan menyilang yang disertai dengan gerak maju ini menghasilkan informasi pantulan pada setiap titik obyek. Cara lain dalam scanning adalah menggunakan pemindai yang terdiri atas sederet detektor yang disebut CCD (Charge Coupled Device) berjumlah ribuan keping per spektrum per panjang gelombang, dan gerak sapuanyya adalah sepanjang gerak wahana. Cara memindai semacam ini disebut along-track scanning , dan pemindainya dikategorikan sebagai pemindai bentuk sapu (pushbroom).
Perkembangan dalam 20 tahun terakhir telah melahirkan sensor non-fotografik berupa area-array, yaitu susunan dua dimensi CCD berbentuk matriks. Dengan susunan detektor semacam ini, sensor dapat difungsikan secara diam dan menangkap informasi spektral obyek tanpa melakukan gerakan sepanjang orbit ataupun menyilang arah orbit. Area Array inilah yang kemudian digunakan dalam teknologi kamera digital yang disebut kamera meski tak melakukan perekaman gambar secara fotografik.
Data hasil pemindahan disimpan secara digital, yaitu disimpan pada kode binner dengan tingkat kecerahan 0-63, 0-127, 0-255, atau bahkan 0-2047. Angka-angka digital yang mewakili variasi nilai pantulan ini kemudian dibaca oleh program komputer, dan setiap titik objek dengan nilai digital tertentu diubah menjadi sel-sel penyusun gambar pada layar monitor yang disebut pixel. Susunan pixel-pixel itu secara visual dikenal sebagai citra non-foto. Perbesaran citra non-foto pada tahap tertentu dapat memunculkan kenampakan pixel-pixel ini, dan memberi kesan pecahnya kenampakan objek
Sensor pemindai atau scanner semacam ini dapat dioperasikan pada spektrum tunggal yang sangat lebar, misalnya spektrum tampak, namun dapat juga dioperasikan pada spektrum yang sangat sempit namun banyak, misalnya spektrum hijau (0,5-0,6 mm), merah (0,6-0,7 mm), inframerah dekat (0,7-1,1 mm), dan inframerah termal (3-12 mm) sekaligus. Citra yang dihasilkan disebut citra multispektral, serta dapat meliputi spektrum pantulan (reflektif) maupun spektrum pancaran termal (emisif). Sistem fotografik sebenarnya juga dapat menghasilkan foto pada berbagai saluran, namun membutuhkan beberapa lensa sekaligus pada kameranya. Foto semacam ini di sebut foto multiband.
Sensor non-fotografik berupa sensor gelombang mikro-radar bekerja dengan cara yang berbeda dari kedua macam sensor yang telah disebutkan sebelumnya. Perekaman dengan menggunakan kamera maupun scanner dapat dilakukan secara tegak maupun miring/ menyamping, meskipun keuntungan yang diperoleh dari perekaman menyamping lebih banyak. Perekaman dengan gelombang mikro–radar (sering disebut sistem gelombang mikro aktif) harus dilakukan secara menyamping karena sistem radar merupakan sistem aktif yang mengirim sinyal gelombang dari suatu antena, dan sekaligus menerima hamburan balik (backscatter) dari sasaran. Posisi dan sifat objek terhadap sensor menentukan banyak sedikitnya hamburan balik yang dicatat oleh sensor. Karena pengiriman sinyal di lakukan secara menyamping, maka pada umumnya lereng yang menghadap sensor terlihat cerah, sedangkan lereng yang membelakangi sensor akan tampak gelap. Hal ini mengakibatkan citra yang dihasilkan cenderung mampu menyajikan kenampakan relief dengan baik.
Pencatatan hamburan balik pada sistem radar sangat rumit. Sinyal yang kembali ke sensor dicatat amplitudonya dan frekuensinya sekaligus, sejauh masih dalam lingkup lebar pancaran (karena ketika gelombang dipancarkan oleh sensor, wahana sudah bergerak maju, sehingga tidak semua pantulan yang berupa hamburan balik akan sampai ke sensor). Sinyal kembali ini kemudian dibandingkan dengan sinyal referensi yang dimiliki sistem, dan diperhitungkan pula akibat interferensi antara sinyal yang datang dan yang kembali ke sensor. Sinyal ini disimpan secara fotografis dan menghasilkan ‘film sinyal’. Perkembangan modern sistem radar saat ini memungkinkan pencatatan dan pemrosesan secara digital, dan citra yang dihasilkan pun banyak berupa citra digital.
B. Citra
Berbagai macam sensor yang telah diuraikan dapat dipasang pada wahana yang berbeda-beda, mulai dari balon udara, pesawat udara, pesawat ulang alik dan satelit. Tinggi terbang yang berbeda-beda akan menghasilkan citra dengan skala yang berbeda pula. Dengan demikian pembedaan jenis citra pun menjadi semakin kompleks, karena dapat dilakukan berdasarkan (1). Jenis sensor, (2) Spektrum yang digunakan, (3). Proses pencetakan, (4). Format penyimpanan, dan (5) Skala yang digunakan. Di samping itu, citra yang format aslinya digital pun mempunyai cirri pengenal lain, yaitu resolusi spasial. Resolusi spasial secara langsung terkait dengan informasi spasial citra (seberapa rinci citra itu mampu menyajikan ukuran objek terkecil).
C. Pengenalan Pola Spektral
lan pola spektral objek dapat menjadi pemandu yang sangat bermanfaat dalam mengenali objek pada citra. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa air jernih cenderung memberikan pantulan yang lebih rendah dari pada air keruh pada semua wilayah panjang gelombang. Vegetasi memberikan pantulan yang sangat rendah pada spektrum biru, meningkat agak tinggi pada spektrum hijau (karena itu daun tampak hijau di mata manusia), menurun lagi di spektrum merah (karena serapan kuat oleh pigmen daun), dan meningkat sangat tajam di spektrum inframerah dekat, sebagai akibat dari pantulan oleh ruang antar sel pada jaringan spongi daun. Vegetasi kembali memberikan pantulan yang rendah pada saluran inframerah tengah I dan inframerah II karena pengaruh kandungan lengas (kelembaban) yang tinggi. Tanah bertekstur relative kasar (pasiran) ataupun relatif lembab dapat memberikan pantulan yang cenderung meningkat dari sprektrum biru ke inframerah dekat, kemudian sedikit turun pada spektrum inframerah tengah I dan II karena pengaruh serapan oleh lengas tanah. Tanah bertekstur relatif halus atau pun yang berona cerah di lapangan dan sangat tipis cenderung memberikan pantulan yang tinggi pada semua spektra. Dedaunan yang kering akan memberikan pantulan yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya panjang gelombang. Meskipun demikian, gejala ini cenderung ideal pada laboraturium, sedangkan kombinasi berbagai faktor di lapangan kadang-kadang mengaburkan pola teoritis semacam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon kritik dan saran yang membangun